Wamendagri Bima Arya Ajak Baca “Tanda Zaman” Di Tengah Gelombang Besar Perubahan Dunia
TANDA ZAMAN. Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto saat Orasi Kebangsaan dalam Pertemuan dan Konsolidasi Regional KAHMI se-Sulawesi di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Sabtu (11/10/2025).
MAKASSAR, GOWAMEDIA.COM - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengingatkan pentingnya kemampuan membaca tanda-tanda zaman di tengah derasnya gelombang perubahan global. Menurutnya, siapa pun yang mampu menangkap arah perubahan dengan jernih akan menjadi pemenang dalam dinamika dunia yang terus bergerak cepat.
“Cak Nur sering sekali bilang seperti itu, Pak Amien juga sering sekali bilang seperti itu. Walaupun tidak semua menjadi pemenang di ujung zamannya, tetapi nasihat untuk membaca tanda-tanda zaman itu selalu saya pegang teguh,” ujar Bima dalam pidatonya saat Orasi Kebangsaan dalam Pertemuan dan Konsolidasi Regional KAHMI se-Sulawesi di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Selatan, Sabtu (11/10/2025).
Bima mengisahkan bahwa pesan moral tentang membaca tanda-tanda zaman sudah lama disampaikan oleh para guru dan cendekiawan bangsa, termasuk Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Pesan itu kini, katanya, semakin relevan di tengah derasnya perubahan dunia yang kian tak terduga.
Ia menyinggung buku The Great Wave: The Era of Radical Disruption and the Rise of the Outsider karya Michiko Kakutani, jurnalis peraih Pulitzer, yang menggambarkan dunia sedang berada di era disrupsi radikal dan kebangkitan para outsider.
Menurut Bima, sampul buku tersebut, yang menampilkan lukisan klasik Jepang The Great Wave off Kanagawa, menjadi simbol kuat tentang kehidupan manusia di tengah badai perubahan.
“Ada perahu kecil yang diterjang gelombang besar dengan Gunung Fuji di kejauhan. Ada yang menafsirkan ini sebagai Yin dan Yang, ada juga yang menilai sebagai simbol kewaspadaan dalam era perubahan,” ujarnya.
Bima menekankan bahwa masyarakat Indonesia tidak boleh terlena dengan hal-hal yang mapan dan sudah dianggap stabil. Sebab, justru sering kali disrupsi muncul dari arah yang tidak disangka. Ia mencontohkan kemunculan tokoh-tokoh dunia seperti Donald Trump di Amerika Serikat dan Volodymyr Zelenskyy di Ukraina, dua sosok yang datang dari luar sistem politik tradisional namun berhasil menjadi pemimpin negara.
Fenomena serupa, katanya, juga terjadi di industri hiburan dan budaya. Dominasi Hollywood kini tergeser oleh gelombang kreatif dari Asia Timur, India, hingga Afrika. Musik dan film tidak lagi hanya milik Barat, melainkan juga hasil karya para seniman dari Seoul, Mumbai, hingga Bogota.
“Marilah kita telaah The Great Wave ini sebagai bahan refleksi perjalanan bangsa ke depan. Dunia telah bergeser. Ketika saya masih SMA atau kuliah, episentrum dunia masih di Barat. Hari ini pusat gravitasi global sudah bergeser ke Asia,” kata Bima.
Ia juga mengingatkan bahwa Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations telah lebih dulu menegaskan pentingnya membaca tanda-tanda zaman, terutama di tengah perubahan tatanan dunia dari unipolar menuju multipolar.
Dalam konteks itu, Bima menilai Indonesia harus memiliki strategi yang jelas dalam menghadapi pergeseran kekuatan dunia. Ia mencontohkan keberhasilan China yang dalam 40 tahun terakhir mampu mengangkat lebih dari 800 juta warganya dari kemiskinan melalui kombinasi antara inovasi dan pemerintahan yang efektif.
“Pemerintahan mereka sangat efektif dan inovasi berjalan tanpa henti, atau dalam tagline yang sering mereka sampaikan: innovation with China’s characteristics. Inovasi berjalan, tapi karakter kultur Cinanya tetap kuat,” tuturnya.
Bima mengakhiri pesannya dengan ajakan agar seluruh peserta KAHMI berperan aktif mempersiapkan generasi muda menghadapi masa depan Indonesia yang lebih maju. Ia menekankan pentingnya melahirkan tokoh-tokoh transformatif yang memimpin dengan nilai, bukan dengan kepentingan.
“Negara ini harus dibimbing dan selalu dijaga oleh tokoh-tokoh transformatif. Mari kita ajak adik-adik kita menjadi sosok-sosok yang berjuang karena nilai, bukan karena kepentingan,” kata Bima.
Menurutnya, membaca tanda-tanda zaman bukan sekadar memahami perubahan, melainkan kemampuan menafsir arah masa depan bangsa. “Kita tidak boleh terpesona dengan yang sudah mapan. Justru, perubahan besar sering muncul dari tempat yang tak disangka. Siapa yang mampu membaca tanda zaman, dialah yang akan menjadi pemenang,” pungkasnya.(*)