Anak Muda Gowa Deklarasikan "Komunitas Sadar Ekologis" Dalam Dialog Lingkungan 2025
SUNGGUMINASA, GOWAMEDIA.COM — Tantangan krisis iklim yang semakin nyata mendorong lahirnya ruang dialog dan edukasi publik yang lebih inklusif. Hal ini tampak dalam kegiatan Dialog Lingkungan yang digelar pada rangkaian Green Innovation Week di Perpustakaan Daerah Gowa, Selasa siang.
Acara menghadirkan pembicara dari unsur pemerintah dan pemuda pelopor lingkungan, serta dihadiri ratusan peserta yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, organisasi pemuda, komunitas lingkungan, hingga perwakilan sejumlah instansi.
Kegiatan dibuka dengan penekanan mengenai pentingnya literasi lingkungan sebagai pijakan awal pembentukan perilaku kolektif yang lebih peduli. Pesan itu mengemuka seiring meningkatnya fenomena iklim ekstrem yang mulai dirasakan langsung oleh masyarakat di berbagai daerah.
Dalam pemaparan materi pemantik, Muhammad Fauzi, Duta Lingkungan Hidup Kabupaten Gowa 2024 sekaligus peserta Green Leadership Indonesia Batch 5, menyebut bahwa pemuda berada di garis depan perjuangan menghadapi krisis iklim.
“Krisis iklim bukan lagi sekadar isu global yang jauh di luar jangkauan kita, tetapi realitas yang sudah kita rasakan di sekitar kita setiap hari. Musim yang tidak menentu, banjir yang semakin sering, meningkatnya suhu, dan ancaman kekeringan adalah tanda bahwa lingkungan sedang berada dalam kondisi kritis,” ujarnya.
Menurut Fauzi, menunggu orang lain bergerak hanya akan menunda bencana. “Kesadaran lokal adalah fondasi utama perubahan besar, dan perubahan itu dimulai dari diri sendiri,” katanya.
Ia menambahkan, anak muda memiliki modal besar berupa kreativitas, kemampuan adaptasi, dan kekuatan jejaring yang bisa mendorong inovasi berbasis komunitas hingga kampanye gaya hidup berkelanjutan.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Gowa, Drs. Mustamin Raga, M.Si, memaparkan situasi lingkungan terkini dari sisi kebijakan. Ia menegaskan bahwa tantangan ekologis hari ini menuntut tindakan nyata, bukan sekadar narasi.
“Situasi lingkungan hari ini mengingatkan kita bahwa bumi memerlukan tindakan nyata, bukan sekadar wacana dan slogan,” kata Mustamin.
Pemerintah daerah, lanjutnya, terus memperkuat program pelestarian lingkungan, edukasi publik, dan penyediaan ruang literasi. Namun, keberhasilan upaya tersebut tidak dapat berdiri sendiri.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri—keberhasilan pembangunan berkelanjutan bergantung pada kolaborasi semua pihak, khususnya generasi muda sebagai motor penggerak perubahan.”
Diskusi berkembang dinamis selama berlangsungnya acara. Beberapa peserta menyampaikan persoalan lingkungan yang mereka temui di level komunitas, seperti peningkatan sampah plastik, penurunan kualitas air, hingga hilangnya ruang hijau.
Dari sesi ini muncul sejumlah gagasan aksi, mulai dari pengurangan plastik sekali pakai, mendorong penanaman pohon di lingkungan permukiman, penggunaan transportasi ramah lingkungan, hingga upaya menjadikan edukasi lingkungan sebagai bagian dari kurikulum sekolah.
Pada sesi penutup, peserta sepakat untuk memulai perubahan dari langkah-langkah kecil yang dapat diterapkan di lingkungan masing-masing. Mereka juga menyatakan aspirasi untuk membentuk "Komunitas Pemuda Sadar Ekologis" sebagai wadah kolaborasi, advokasi, dan aksi pelestarian alam yang lebih terstruktur.
Acara ditutup dengan harapan agar dialog serupa dapat menjadi agenda berkelanjutan di Gowa. Panitia menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan ruang lahirnya ide, jaringan, dan pemimpin muda yang siap mengambil peran dalam menyelamatkan bumi.
“Kegiatan seperti ini harus terus dihidupkan, karena perubahan besar selalu dimulai dari percakapan kecil yang dilakukan dengan kesadaran dan komitmen,” ujar salah satu peserta.
Dialog Lingkungan tersebut menegaskan bahwa gerakan ekologis bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau aktivis, tetapi tugas bersama seluruh lapisan masyarakat—terutama generasi muda yang akan mewarisi masa depan bumi.(*)