K-3 MPR: TAP Anti-KKN Belum Efektif, Negara Dalam Bahaya

Prof. Mustari Mustafa
JAKARTA, GOWAMEDIA.COM – Komisi Kajian Ketatanegaraan (K-3) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah melaksanakan Rapat Kelompok I pada tanggal 21–23 Mei 2025 guna mengkaji implementasi dan efektivitas TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) serta TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Laporan Akuntabilitas Presiden.
Kajian ini dinilai sangat krusial mengingat ketentuan dalam kedua TAP tersebut belum terlaksana secara efektif, bahkan berpotensi mengancam eksistensi negara, seiring dengan kesadaran kolektif nasional yang dinilai belum berkembang secara signifikan. Hasil kajian ini akan dirumuskan menjadi rekomendasi resmi, serta disusun dalam bentuk dokumen dan buku strategis yang akan disampaikan kepada MPR, Presiden, dan seluruh penyelenggara negara.
Salah satu anggota K-3, Prof. Dr. Mustari, Guru Besar Filsafat dari UIN Alauddin, menekankan bahwa pada semester pertama 2025, K-3 menargetkan selesainya proses evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan TAP XI/MPR/1998. Menurutnya, ketetapan tersebut selama ini belum memberikan dampak nyata dalam membentuk sistem penyelenggaraan negara yang bebas dari praktik KKN.
"K-3 akan menyampaikan hasil kajian ini kepada pimpinan MPR sebelum Hari Konstitusi pada 18 Agustus 2025, dan diharapkan menjadi salah satu bahan pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus 2025 mendatang," ujar Prof. Mustari. Ia menambahkan bahwa hasil kajian juga akan disosialisasikan ke berbagai lembaga, termasuk kalangan akademik di kampus-kampus.
Sebelumnya, dalam Rapat Pleno K-3 pada 7–9 Mei 2025, para anggota telah memaparkan pandangan melalui paper singkat mengenai optimalisasi peran dan fungsi MPR pasca amandemen UUD 1945. Dalam forum tersebut, Prof. Mustari menyampaikan refleksi kritis terhadap dampak amandemen terhadap posisi dan fungsi MPR.
Menurutnya, hilangnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) pasca amandemen telah membuka ruang terjadinya fragmentasi kebijakan sektoral, yang kerap tidak terkoordinasi dan berpotensi menimbulkan kesenjangan antar wilayah. Ia juga menyoroti keterbatasan DPD sebagai representasi daerah dalam mewujudkan kepentingan teritorial yang substantif akibat kurangnya sumber daya dan lemahnya solidaritas kelembagaan, serta relasi yang kurang sinergis dengan DPR.
Dalam konteks tersebut, Mustari mengusulkan agar perlu dipertimbangkan penguatan kembali posisi MPR sebagai lembaga musyawarah mufakat tertinggi yang mewakili representasi politik (DPR) dan teritorial (DPD). Menurutnya, MPR memiliki potensi strategis untuk merumuskan arah pembangunan nasional yang lebih komprehensif, terintegrasi, dan konsensus-based, termasuk melalui mekanisme Penetapan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
"Penguatan kewenangan MPR, termasuk melalui keterlibatan aktif DPD dalam penyusunan PPHN, akan mengembalikan 'roh' perencanaan pembangunan nasional yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan mampu mengakomodasi aspirasi daerah," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pemberian kewenangan legislasi yang lebih substansial kepada DPD dalam isu-isu yang berkaitan dengan daerah, merupakan bentuk pengakuan terhadap prinsip otonomi dan keberagaman, yang esensial dalam menjaga keutuhan dan keadilan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI berharap dapat menghadirkan rekomendasi strategis yang mampu menjawab tantangan sistem ketatanegaraan dan memperkuat fondasi demokrasi substantif di Indonesia. (*)