Dari Masjid Al Markaz Al Islami: NU, Muhammadiyah, An Nadzir Hingga Jamaah Tablig Serukan Persatuan

Dari Masjid Al Markaz Al Islami: NU, Muhammadiyah, An Nadzir hingga Jamaah Tablig Serukan Persatuan

DUET HOST. Prof Mustari Mustafa dan Prof Muammar Bakri, saat memandu dialog.


MAKASSAR, GOWAMEDIA.COM - Pengurus Masjid Al Markaz Al Islami, sukses menggelar dialog bertajuk "Bersama dalam Rumah Besar Islam". Kegiatan digelar di Ballroom Masjid Al Markaz, Ahad 6 Juli bertepatan dengan hari 'asyura, 10 Muharram 1447 H. 

Tema rumah besar Islam, mengajak kepada semua peserta dialog khususnya dan umat Islam Indonesia secara umum, agar memupuk persatuan dan kesatuan dalam satu komunitas besar yang harmonis, meskipun berbeda latar belakang organisasi. 

Komunitas masyarakat Islam yang luas dan beragam, tidak harus terpecah dalam berbagai macam perbedaan. Tetapi, perbedaan itu perlu dikuatkan dan saling menghargai serta menghormati satu sama lainnya, agar tercipta kehidupan yang harmonis. 

Karena itulah, Ketua Umum Masjid Al Markaz, Prof Hamid Awaluddin SH, LLM, MA, Ph. D, dalam sambutan singkatnya, mengajak kepada audiens menggunakan Al Markaz sebagai rumah besar Islam. 

Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM ini, penyakit terbesar yang dihadapi umat adalah kemiskinan dan kebodohan. Karena kemiskinan membuat orang semakin terpuruk. Maka sejatinya, hanya orang berpikir cerdas yang bisa menjawab tantangan ini. 

"Al Markaz adalah milik kita semua, terlepas siapa bapak dan siapa ibunya. Memikirkan nasib umat Islam. Ayo, siapa yang mau berkegiatan di sini, silakan masuk," ajak Hamid Awaluddin. 

Dua guru besar memandu dialog ini; Ketua Harian Al Markaz, Prof Dr H Mustari Mustafa, M.Pd, dan Imam Masjid Al Markaz, Prof Dr H Muammar Bakry, LC, M.Ag, membuat suasana  dialog hidup, gurih dan renyah. 

Ada celoteh-celoteh ringan yang disampaikan Muammar, seperti, bisakah NU tidak qunut dulu, tidak barzanji. Bisakah lebaran kita sama? Kepada yang mewakili An-Nazir, bertanya, bisakah An Nadzir salat di Al Markaz? "Iya, bisa," jawab Samiruddin mewakili An Nadzir. 

Kepada yang mewakili Hidayatullah, ketika ditanya pandangannya tentang berapa istri yang perlu dinikahi? "Waduh, kalau saya jawab dan ini direkam, saya khawatir orang di rumah, " jawaban ini disambut tawa riuh. 

Dialog Konstruktif Antarkomponen Umat, bertabur tokoh lintas ormas Islam. Ada Muhammadiyah, NU, Jamaah Tablig, MUI, KAHMI, Forhati, IMMIM, Hidayatullah, An Nadzir, Forum Umat Islam Bersatu, DDI, sejumlah akademisi dari Universitas Hasanuddin dan Universitas Islam Negeri Alauddin. 

Prof Dr H. Ambo Asse yang terlebih dahulu diberi kesempatan berbicara selama dua menit, mengungkap tentang pendidikan dan makan bergizi gratis. Saat ini, pemerintah sedang merintis sekolah rakyat. "Saya katakan, tidak perlu ada sekolah rakyat, karena banyak sekolah Muhammadiyah. Masuklah di sekolah Muhammadiyah itu secara gratis dan dibayar oleh pemerintah," ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar ini. 

Termasuk makan gizi gratis dinilai Ambo Asse tidak merata. Kalau anak orang kaya yang menerima makanan tesebut, akan bilang, makanan apa ini, lebih bagus makanan yang dibawa dari rumah. Tapi, kalau orang miskin yang menerima, akan bilang, kalau makanan ini saya bawa pulang ke rumah, bisa dimakan oleh saudara-saudara saya juga. 

Terkait persatuan dan kesatuan umat Islam, Ambo Asse mengatakan Muhammadiyah senantiasa terus berjuang untuk mencapai itikad baik itu, termasuk persoalan pelaksanaan hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. 

Belum tuntas apa yang disampaikan Prof Ambo Asse, host yang cukup energik ini langsung memotong waktu dua menit sudah habis. 

Giliran Prof Andi Darussalam mewakili Jamaah Tablig. "Saya mendapat undangan sebagai pengurus Jamaah Tablig," kata Darussalam memulai pembicaraan. Tapi  dia melanjutkan, tidak ada pengurus di Jamaah Tablig. Tidak ada ketua, sekretaris, tidak ada stempel. Kami tidak punya lembaga," akunya. 

Dia melanjutkan, Jamaah Tablig satu-satunya yang tidak mempersoalkan khilafiah dan tidak ikut politik praktis. 

"Kita lebih fokus bagaimana menghidupkan salat berjamaah dan salat tepat waktu. Tapi, perbedaan-perbedaan yang terjadi antarumat Islam ini, benar-benar melelahkan," katanya. 

Habis waktu dua menit, dipotong oleh host. "Kalau kita tambah lagi dua menit, bisa-bisa kita semua jadi Jamaah Tablig," kata Muammar yang disambut tawa audiens. 

Beberapa undangan yang ikut interaktif menuangkan gagasannya antara lain, Azis Talib (KAHMI), Hamid Paddu (akademisi), Adi Suryadi Culla (akademisi), Hasrullah (Masjid Nurul Ittihad), Bahaking Rama (akademisi), Muchtar Dg Lau (Forum Umat Islam Bersatu).

Acara dimulai tepat usai salat dhuhur dan diakhiri sesaat sebelum azan ashar berkumandang.(*)