Satu Tahun Kabinet Merah Putih: Antara Janji Emas Dan Realitas Kelam

Satu Tahun Kabinet Merah Putih: Antara Janji Emas dan Realitas Kelam

Muhammad Mahadir  

(Sekretaris Jenderal DEMA UIN Alauddin Makassar)


Menjelang satu tahun pemerintahan Kabinet Merah Putih, wacana besar “Indonesia Emas 2045” terus digaungkan oleh pemerintah. Cita-cita menuju bangsa maju, sejahtera, dan mandiri itu kini menjadi narasi utama di berbagai forum kenegaraan. Namun di tengah gemuruh slogan dan pidato optimistis, publik mulai mempertanyakan apakah “Indonesia Emas” benar-benar sedang dibangun, atau hanya menjadi retorika politik tanpa arah?

Slogan besar yang seharusnya menjadi panduan perjuangan bersama kini justru tampak kehilangan substansi. Di tengah kondisi rakyat yang kian sulit, narasi Indonesia Emas lebih sering dijadikan alat pencitraan kekuasaan. Padahal untuk mencapai cita-cita besar itu mempunyai tiga pilar utama bangsa yaitu pendidikan, ekonomi, dan lingkungan masih menghadapi krisis mendasar yang belum dijawab serius oleh pemerintah.

Pendidikan: Antara Gizi Gratis dan Krisis Kesadaran

Sektor pendidikan seharusnya menjadi fondasi menuju Indonesia Emas, namun di bawah kebijakan saat ini justru terjebak dalam proyek populis. Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) misalnya, digembar-gemborkan sebagai bentuk kepedulian terhadap pelajar. Meski baik secara konsep, pelaksanaannya belum menjangkau akar masalah. Banyak sekolah di pelosok belum merasakan manfaatnya, sementara kualitas guru, kurikulum, dan fasilitas pendidikan masih jauh dari memadai.

Romo Mangun Wijaya pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah wadah untuk menumbuhkan kesadaran sosial agar manusia menjadi pelaku sejarah. Namun pendidikan hari ini justru diarahkan menjadi urusan administratif dan konsumtif. Pemerintah tampak lebih sibuk membeli legitimasi sosial daripada menanamkan nilai kritis dan kemanusiaan. Apalah arti gizi yang diberikan setiap hari jika nalar pelajar tetap lapar akan pengetahuan dan kesadaran sosial?

Ekonomi: Pertumbuhan Tanpa Pemerataan

Di sektor ekonomi, pemerintah terus menarasikan pertumbuhan yang stabil. Namun di balik data statistik, kesenjangan antara kota dan desa masih lebar. Banyak pelaku usaha kecil dan menengah kesulitan mengakses modal, sementara harga kebutuhan pokok terus naik dan daya beli masyarakat menurun.

Pertumbuhan ekonomi tampak hanya dinikmati oleh segelintir kelompok elit. Proyek besar dan investasi asing terus digelontorkan, tetapi manfaatnya tidak dirasakan langsung oleh rakyat. Narasi “kemajuan ekonomi” seolah hidup di ruang konferensi, bukan di kehidupan sehari-hari masyarakat kecil. Padahal, ekonomi yang kuat seharusnya tumbuh dari bawah dari desa, dari rakyat, dan dari kemandirian lokal yang diberdayakan secara berkelanjutan.

Lingkungan: Korban Sunyi Pembangunan

Di tengah ambisi pembangunan, lingkungan hidup menjadi korban paling sunyi. Tambang ilegal, deforestasi, dan pencemaran air terus berlangsung tanpa penegakan hukum yang tegas. Banyak masyarakat kehilangan tanah dan sumber penghidupan akibat proyek yang mengatasnamakan investasi.

Tidak akan ada Indonesia Emas di atas tanah yang rusak dan udara yang tercemar. Tidak ada kesejahteraan sejati jika lingkungan terus dikorbankan demi target ekonomi jangka pendek. Pemerintah seolah lupa bahwa pembangunan tanpa keseimbangan hanya akan melahirkan kehancuran jangka panjang.

Evaluasi untuk Kabinet Merah Putih

Menjelang satu tahun usia pemerintahan Kabinet Merah Putih, publik berhak melakukan evaluasi besar-besaran. Janji kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan yang dulu dikampanyekan, kini diuji oleh kenyataan. Rakyat menunggu bukti bahwa kekuasaan bukan sekadar panggung retorika, melainkan ruang kerja nyata untuk menyejahterakan seluruh lapisan bangsa.

Pendidikan harus dikembalikan pada misinya membentuk manusia merdeka dan kritis. Ekonomi harus dikelola demi kesejahteraan bersama, bukan kepentingan oligarki. Dan lingkungan harus dijaga sebagai warisan masa depan, bukan dikorbankan atas nama pembangunan.

Cita cita Indonesia Emas 2045 tidak akan pernah tercapai selama pendidikan dijadikan alat politik, ekonomi dikuasai segelintir elit, dan lingkungan terus dirusak. Indonesia tidak butuh slogan baru tetapi tindakan nyata yang memberikan dampak baik ke masyarakat. Sebab masa depan emas tidak lahir dari pidato kekuasaan melainkan dari kesadaran kolektif untuk menjaga manusia, keadilan, dan alam secara berkelanjutan. (*)