Prof. Syamzan Kukuhkan Guru Besar UIN Alauddin: Menggali Jejak Islamisasi Dalam Epos La Galigo

Prof. Syamzan Kukuhkan Guru Besar UIN Alauddin:  Menggali Jejak Islamisasi dalam Epos La Galigo

MAKASSAR, GOWAMEDIA.COM - Sidang Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Selasa (14/10/2025), menjadi saksi sejarah akademik baru bagi Prof. Dr. Hj. Syamzan Syukur, M.Ag., yang akan dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap bidang Historiografi Islam di Fakultas Adab dan Humaniora. 

Selain Prof Syamzan, tiga guru besar lainnya yang akan dikukuhkan, yakni: Prof. Dr. Nurhidayat M. Said, M.Ag. dalam Bidang Ilmu Dakwah, Prof. Dr. Muljono Damopolii, M.Ag. dalam Bidang Pemikiran Pendidikan Islam, dan Prof. Dr. H. La Ode Ismail Ahmad, S.Ag., M.Th.l. dalam bidang Sosiologi Hadis.

Acara pengukuhan ini akan dipimpin langsung Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Hamdan, MA, Ph.D, serta dihadiri para anggota senat universitas, pimpinan fakultas, sivitas akademika, dan para tamu undangan dari berbagai lembaga keilmuan dan organisasi keislaman.

Dalam pidato pengukuhannya yang diterima Redaksi GOWAMEDIA.COM bertajuk “Transformasi Kultural: La Galigo dan Jejak Islamisasi dalam Historiografi Sulawesi Selatan”, Prof. Syamzan mengajak dunia akademik untuk membaca ulang relasi antara budaya lokal dan Islam dalam perjalanan sejarah Bugis-Makassar.

Prof. Syamzan menyoroti La Galigo sebagai epos monumental masyarakat Bugis—sebuah karya yang diakui UNESCO sebagai Memory of the World Heritage. Menurutnya, naskah yang memuat 7.000 halaman itu bukan sekadar mitologi, melainkan ekspresi kesadaran sejarah dan sistem nilai pra-Islam yang membentuk identitas masyarakat Bugis.

Namun, seiring dengan datangnya Islam pada abad ke-17, terjadi transformasi besar dalam cara masyarakat menulis dan memahami sejarah. 

“Islam tidak hanya membawa sistem keagamaan, tetapi juga memperkenalkan bentuk baru historiografi yang kronologis, teologis, dan berbasis teks,” ujar Prof. Syamzan dalam pidatonya.

Ia menjelaskan bahwa proses islamisasi tidak menghapus mitologi lokal, tetapi menimbulkan interaksi kompleks antara dua sistem pengetahuan: yang satu berbasis mitos, dan yang lain berbasis teologi Islam. 

“Keduanya saling bernegosiasi, bahkan berkompetisi dalam membentuk kesadaran sejarah masyarakat Bugis,” tuturnya.

Prof. Syamzan menilai,La Galigo tidak bisa dipandang sekadar sebagai legenda atau mitos, karena di dalamnya tersimpan historical consciousness masyarakat Bugis. Ia mengutip Jan Vansina dan Michel Foucault untuk menegaskan bahwa sejarah sering kali dibentuk oleh kekuasaan dan ideologi dominan. Dalam konteks ini, La Galigo menjadi “situs resistensi epistemologis” terhadap narasi tunggal sejarah yang hanya mengakui Islam sebagai satu-satunya sumber kebenaran historis.

Dalam pandangannya, epos La Galigo kini memasuki babak baru: direkontekstualisasi sebagai warisan budaya dan sarana pendidikan nilai. Ia mendorong agar teks-teks La Galigo diajarkan di sekolah-sekolah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari muatan lokal. 

“Bukan untuk menghidupkan mitos, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran sejarah dan kearifan lokal yang selaras dengan Islam,” paparnya.

Prof. Syamzan juga mengingatkan bahwa tantangan terbesar dalam pelestarian La Galigo adalah risiko folklorisasi—ketika karya luhur ini hanya dijadikan bahan hiburan tanpa makna reflektif. Ia menegaskan perlunya membaca La Galigo dengan pendekatan hermeneutika Islam agar menjadi jembatan antara nilai-nilai leluhur dan spiritualitas modern.

Dwi-Historiografi dan Identitas Bugis-Islam

Salah satu gagasan sentral Prof Syamzan adalah konsep dwi-historiografi—yakni keberadaan dua sistem sejarah yang hidup berdampingan dalam ingatan kolektif masyarakat Bugis: sejarah mitologis dari La Galigo dan historiografi Islam dari teks Lontaraq. 

“Masyarakat Bugis modern hidup dalam dua kesadaran: genealogis-kultural dan teologis-historis. Keduanya tidak meniadakan, melainkan saling melengkapi,” ujarnya.

Fenomena ini menurutnya melahirkan identitas ganda: Bugis yang religius sekaligus religius yang Bugis. Sebuah identitas yang tidak menolak modernitas Islam, tetapi juga tidak memutus akar budaya leluhur. 

“Islam datang bukan untuk menghapus budaya, melainkan untuk memuliakan manusia dengan budayanya,” tegasnya menutup bagian inti pidato.

Profil dan Jejak Akademik

Prof. Syamzan Syukur lahir di Luwu, 1 April 1973. Ia menempuh pendidikan dasar hingga PGA di Palopo, kemudian meraih gelar Sarjana di IAIN Ujung Pandang (1995), Magister di IAIN Makassar (1999), dan Doktor bidang Pengkajian Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2008).

Karier akademiknya dimulai di STAIN Sultan Amai Gorontalo, sebelum bergabung di UIN Alauddin Makassar pada 2014. Ia pernah menjabat Wakil Dekan Fakultas Adab dan Humaniora serta aktif di berbagai organisasi, termasuk Wanita Islam Sulsel, KAHMI UINAM, dan Masyarakat Sejarawan Indonesia.

Sebagai akademisi, Prof. Syamzan dikenal produktif menulis riset-riset tentang sejarah Islam, budaya Bugis, dan isu-isu keislaman modern. Karya ilmiahnya tersebar di berbagai jurnal nasional dan internasional, dengan fokus pada historiografi Islam, peradaban lokal, dan transformasi kultural.

Pengukuhan Prof. Syamzan bukan sekadar puncak karier akademik, tetapi juga momentum bagi UIN Alauddin Makassar untuk menegaskan perannya dalam membangun wacana Islam yang inklusif terhadap budaya lokal. Melalui gagasannya, ia memperlihatkan bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan adalah proses dialog panjang: antara wahyu dan tradisi, antara teks dan konteks, antara La Galigo dan Al-Qur’an. (*)