Pengukuhan Empat Guru Besar UINAM: Mandi Air Mata, Canda, Dan Tawa

Pengukuhan Empat Guru Besar UINAM: Mandi Air Mata, Canda, dan Tawa

KOLASE GUBES: (kiri-kanan) Prof Thahir Maloko, Prof Muhammad Yahya, Prof Munawir Kamaluddin, Prof Supardin.

SAMATA, GOWAMEDIA.COM - Suasana pengukuhan empat guru besar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) berlangsung penuh warna. Bahagia, bangga, haru, canda, tawa, hingga linangan air mata, semuanya berpadu dalam momen yang sakral dan emosional.

Auditorium Alauddin menjadi saksi bertambahnya jumlah guru besar di lingkungan UIN. Kenaikan status akademik ini tak hanya menandai pencapaian personal, tetapi juga menjadi simbol ekspektasi tinggi: menjadi panutan bagi mahasiswa dan seluruh sivitas akademika.

Ruang auditorium penuh sesak oleh tamu undangan. Di balkon, mahasiswa turut meramaikan suasana. Tepuk tangan meriah dan teriakan "yeeeee" dari tim pendukung masing-masing guru besar membahana. Saking padatnya, pendingin ruangan tak sanggup menahan panas, terutama di bagian tengah dan belakang kursi.

Sidang Senat Terbuka Luar Biasa itu dibuka dan ditutup oleh Ketua Senat UIN Alauddin Prof. Dr. Mardan, M.Ag, di Auditorium Kampus II UINAM, Jalan Yasin Limpo No. 36, Gowa, Rabu, 17 September 2025.

Prof. Dr. Hasaruddin membuka sesi akademik dengan membacakan riwayat hidup keempat guru besar. Membaca dengan tempo cepat, seolah berpacu dengan waktu, membuat para hadirin hanya sempat menyerap informasi sepintas saja.

Hening menyelimuti ruangan saat video perjalanan hidup Prof. Dr. Drs. H. Thahir Maloko, B.A., M.H.I., ditayangkan. Gambar apik dan narasi yang menggema menghadirkan suasana syahdu dan penuh haru. Beberapa penonton bahkan tampak merinding.

Dalam video itu, Thahir Maloko digambarkan sebagai sosok pejuang kehidupan. Ia memulai karier sebagai buruh pelabuhan—pekerjaan kasar yang dijalaninya dengan bangga, tanpa rasa hina. Dari pelabuhan, ia melangkah ke kampus hijau UIN sebagai petugas kebersihan.

Namun hidup bukan tentang di mana kita mulai, tetapi bagaimana kita berjuang. Thahir tak pernah berhenti berikhtiar. Dari cleaning service, ia menjadi dosen. Lalu menempuh pendidikan magister, doktor, hingga meraih jabatan akademik tertinggi: guru besar.

Kisah hidupnya menjadi inspirasi, terutama bagi mahasiswa yang menyaksikan video tersebut. Bahwa hidup harus dihadapi dengan sabar, tekun, dan penuh keikhlasan. "Allah tak pernah diam terhadap hamba-Nya yang selalu berdoa dan berusaha."

Thahir tak mampu menahan air mata saat video menayangkan bagian tentang peran orang tuanya. Ia menyeka air matanya dan berkata dengan suara pelan namun tegas: ia mempersembahkan gelar guru besar ini untuk orang tua yang telah tiada.

Tampil pertama menyampaikan pidato, Thahir terbawa suasana dan melewati batas waktu. Panitia pun memberi isyarat halus dengan meletakkan secarik kertas di podium.

Kesempatan kedua diberikan kepada Prof. Dr. Drs. Muhammad Yahya, M.Ag., guru besar di bidang Ilmu Kritik Sanad Hadis. Ia tak kuasa menahan emosi saat menyebut satu per satu orang yang berjasa dalam hidupnya.

Dengan suara tertahan, ia mengucapkan terima kasih kepada orang tua, istri, keluarga, dan Rektor UINAM, Prof. Hamdan Juhannis, M.A., Ph.D. Ia sempat terhenti sejenak, tak sanggup melanjutkan pidatonya karena terlalu terharu.

Giliran berikutnya, Prof. Munawir Kamaluddin, guru besar Ilmu Pendidikan Akhlak Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, menyampaikan orasi ilmiah bertajuk Literasi Digital dan Pendidikan Karakter: Strategi Inovatif Berbasis ICT bagi Generasi Milenial.

Ia memperkenalkan gagasan Islamic Character Transmission (ICT)—sebuah perluasan makna dari Information and Communication Technology. “ICT tidak sekadar Information and Communication Technology, tetapi hendaknya menjadi Islamic Character Transmission. Teknologi yang mentransmisikan akhlak Islami di ruang digital,” tegasnya.

Ia menekankan pentingnya nilai-nilai seperti tabayyun, amanah, iffah, dan rahmah dalam membentuk kurikulum berbasis etika digital Islami. Ia juga mengembangkan aplikasi game edukatif yang menantang generasi muda mengambil keputusan moral.

Tak hanya itu, ia mendorong hadirnya role model digital—ulama, akademisi, dan influencer Muslim—di ruang maya sebagai panutan. Dalam pidatonya, Prof. Kamaluddin juga menyampaikan pentingnya AI Islami yang dapat memantau ujaran kebencian dan menyaring konten destruktif.

Menjelang akhir, emosinya tak terbendung. Ia mengambil tisu satu per satu dari podium, dan mempersembahkan gelar guru besar ini untuk ayahnya, Drs. KH. Kamaluddin Sukku, dan ibunya, Hj. Andi Aisyah Marzuki Hasan, yang telah wafat. Tak lupa pula ia menyebut istri dan keenam anaknya sebagai sumber semangatnya.

Dengan suara bergetar ia berkata, "Namun dengan kecintaan dan belas kasih membesarkan saya, kini Munawir yang sering meresahkan itu, telah berdiri dengan percaya diri di podium kehormatan pengukuhan guru besar."

Puncak acara ditutup dengan pidato Prof. Dr. Drs. H. Supardin, M.H.I., pria kelahiran Batu Merah, Malili, Kabupaten Luwu, 2 Maret 1965. Anak bungsu dari enam bersaudara ini membuka pidatonya dengan semangat tinggi.

Sebagai Sekretaris Jenderal BPP IKA UINAM, ia memulai dengan pekikan semangat:

"Kalau saya bilang yakusa, maka lanjutkan dengan yakin usaha sampai!"

Dalam orasi bertajuk Warisan di Persimpangan: Konflik antara Tradisi dan Keadilan, ia menyoroti banyaknya kasus warisan yang tidak kunjung selesai, bahkan memicu konflik keluarga hingga berujung tragis. Ia mengajak hadirin meneguhkan komitmen terhadap ilmu untuk mewujudkan keadilan dalam hukum waris.

Menurutnya, konflik warisan adalah cerminan rumitnya pertemuan antara norma hukum dan budaya lokal. Untuk menyelesaikannya, diperlukan pendekatan dialogis dan kontekstual—bukan sekadar normatif. Pendekatan ini harus memperhatikan aspek sosial, kultural, dan spiritual masyarakat.

Ia menawarkan empat solusi: dialog antar-generasi, reformasi tradisi, pendidikan inklusif, dan kolaborasi antara akademisi dengan tokoh adat. “Kita butuh titik temu antara tradisi dan keadilan,” ujarnya.

Prof. Supardin, yang pernah menjabat Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Kesehatan UINAM (2008–2012) dan memimpin Laboratorium Falaq (2012–2015), merupakan sosok inspiratif yang pernah menjadi guru sejak usia empat tahun, dan kini menjadi guru besar di usia 60.

Ia dikenal sebagai sosok humoris. Meski pernah mencalonkan diri sebagai rektor UINAM dan ketua senat, namun belum terpilih. Tapi ia tak pernah menyerah. Semua pencapaiannya ia persembahkan kepada istrinya, Dra. Hj. Wahida Rahim, M.M.


Dengan suara penuh cinta, ia menutup pidato:

**"Untuk istriku, kamu bagaikan mutiara dan cahaya hidupku, yang menerangi setiap langkahku. Istriku, kau adalah sumber inspirasiku dan cintaku. Denganmu, hidupku menjadi lebih indah, lebih bermakna, dan lebih bahagia."**

Pesan Rektor

Di momen penuh haru dan kebanggaan itu, Rektor Prof. Hamdan Juhannis menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya seseorang untuk selesai dengan dirinya sendiri.

Menurutnya, “selesai dengan diri sendiri” adalah memiliki kekuatan internal, tidak terus-menerus mencari validasi eksternal, terlebih lagi menyoal pada masalah untung dan rugi. 

“Kita juga harus memiliki kemampuan batin. Mampu mengelola emosi dengan baik, tidak membutuhkan verifikasi eksternal, serta mampu berdamai dengan masa lalu,” pesan Rektor dua periode ini, menutup rangkaian acara pengukuhan. (*)