Tiga Nyawa Melayang, PP-KKB Datang Menguatkan Keluarga Korban Kebakaran Bantaeng
BANTAENG, GOWAMEDIA.COM - Kobaran api itu pertama kali terlihat dari ruko kecil di Tangnga-Tangnga, Bissappu, pada Selasa malam, 25 November 2025. Waktu baru menunjukkan pukul 19.30 Wita ketika warga mendengar suara yang memecah rutinitas: teriakan minta tolong. Hanya beberapa menit kemudian, api menjalar seperti makhluk buas yang menemukan jalannya sendiri, menelan bangunan dua lantai itu tanpa ampun.
“Kobaran api dengan cepat merembet ke seluruh bangunan lantaran material perabot di dalam rumah mudah terbakar,” kata Haerul, salah satu saksi malam itu. Kobaran yang meletupkan botol-botol berisi bahan bakar dan memuntahkan panas itu terlalu besar untuk dilawan tangan kosong.
Empat mobil Damkar Bantaeng yang dikerahkan datang dengan sirene panjang, namun saat mereka tiba, nyala api sudah memanjat hingga ke langit-langit.
“Setelah berjibaku selama beberapa jam, api akhirnya berhasil dipadamkan. Namun, 3 penghuni ruko ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa,” ujar M Iqbal, petugas Damkar, dengan nada yang tertahan.
Tiga korban itu bukan nama asing di mata tetangga: Bahria (57), nenek yang ramah; FI (10) cucunya yang lincah; dan NA (4), si bungsu yang sering bermain di teras. Mereka pergi dalam cara yang tak diinginkan siapa pun.
***
Jauh di Labuan Bajo, ratusan kilometer dari Bantaeng, ponsel Riska (27) masih menampakkan gambar goyah dari ibunya, Bahria. Ia sedang off trip malam itu, menikmati jeda singkat dari pekerjaannya di sebuah perusahaan wisata. Waktu kosong itu ia gunakan untuk menelepon rumah, melihat ibunya dan dua anaknya melalui video call—momen kecil yang tak pernah ia bayangkan menjadi yang terakhir.
Di layar, ia melihat rutinitas biasa: ibunya menjaga ruko, anaknya mengisi BBM ke dalam botol-botol yang berjajar. Tak ada tanda bahaya.
Hingga teriakan itu datang.
“Riska… pepeka-pepeka (api-api)!” suara itu memecah obrolan, panik, terputus-putus. Riska melihat kilatan api muncul di belakang ibunya—kobaran kecil yang dalam sekejap menyambar botol-botol BBM di sekitar pintu.
“Saya panik karena sempat menyaksikan kobaran api dari balik VC,” katanya. Suaranya serak, matanya berkaca. Ia masih mengingat betul bagaimana layar ponselnya bergetar, tiba-tiba miring, lalu gelap. “HP mama terus menyala sampai akhirnya mati karena terbakar.”
Dari cerita warga yang sempat berada di lokasi, ada seorang pembeli yang memantik korek api untuk merokok. Hanya sesaat—tapi cukup untuk menyulut api yang langsung menerkam BBM di tangan putra sulung Riska.
Botol-botol pecah, BBM tumpah, semuanya jadi bahan bakar. Riska menunduk, memeluk kedua tangan sendiri, seperti menahan sesuatu yang mengalir dari dadanya.
Ia bilang, ibunya sebenarnya sudah berhasil keluar. Tapi naluri seorang nenek membuatnya kembali masuk ke dalam ruko. Tujuannya satu: menyelamatkan cucu-cucunya.
“Waktu mau keluar lagi, api sudah sangat besar,” kata Riska. Anaknya ditemukan di dekat anak tangga, sementara ibunya dan anak bungsunya ditemukan di bawah tangga—tiga tubuh dalam upaya terakhir untuk mencapai pintu yang tak pernah mereka raih.
***
Terpal plastik menjadi tenda darurat penghalang hujan, terpasang di atas puing ruko yang beberapa bagiannya hitam gosong. Keluarga Riska sudah membersihkannya. Yang terlihat hanya tiang-tiang beton dan dinding bekas jilatan api.
Di sana, keluarga besar korban berkumpul: dua paman, Bustan dari Batam dan Mahdis dari Jakarta, mendampingi Riska dan adiknya, Reinal. Mereka menerima tamu-tamu yang datang, sebagian besar membawa ucapan belasungkawa dalam bentuk amplop, material lain, dan pelukan panjang yang tak mampu menyelesaikan apa pun, tapi memberi sedikit kehangatan.
Dalam suasana dingin dari sisa hujan deras sebelumnya itu, ada rombongan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Bantaeng (PP-KKB) dari Makassar. Mereka datang membawa santunan yang terkumpul dalam tempo sekejap dan satu pesan sederhana: keluarga ini tidak sendirian. Mereka menyerahkan bantuan tunai sebesar Rp11 juta—hasil penggalangan dari para perantau Bantaeng di banyak daerah.
Hujan turun perlahan saat penyerahan santunan dari para penyumbang yang tak ingin disebutkan namanya itu, dilakukan. Dari speaker masjid di depan ruko Jalan Pahlawan No.10 yang hangus itu, suara kendaraan yang lalu Lalang mengiringi suara azan Ashar memanggil.
“Terima kasih banyak atas bantuan keluarga besar Bantaeng di perantauan. Kami merasa tidak sendiri menanggung beban ini,” kata Riska, suaranya patah-patah. Ia menggenggam amplop itu seperti menggenggam sesuatu yang rapuh tapi penting.
H Patta, Wakil Ketua Umum Bidang Ekonomi dan Keuangan PP-KKB, berdiri di sampingnya. Ia tak banyak bicara, hanya memegang dua buah amplop yang diserahkan ke Riska. Di sampingnya, Wakil Ketua Umum Bidang Keanggotaan dan Perkumpulan, Muhammad Yusuf AR dan Sekretaris Bidang Keagamaan, Sosial Dan Budaya, Armin Yasin turut menyaksikan.
Riska bilang, uang bantuan itu tak akan dipakai untuk hal-hal lain. “Kami sepakat membangun kembali rumah ini,” katanya. Mereka berencana membuat ruko itu berdiri lagi, seperti sebelumnya. Tapi satu hal pasti: usaha BBM botolan yang selama puluhan tahun menjadi sumber nafkah keluarga, tak akan diteruskan lagi.
“Cukup sampai di sini,” katanya tegas yang turut diamini kedua pamannya.
Reinal, adiknya yang kini sudah berkeluarga dan berdagang minuman kekinian dengan gerobak, akan tinggal di rumah itu nanti. “Ini tetap jadi rumah keluarga. Tempat pulang,” kata Bustan, sang paman, menutup percakapan.
Sore itu, setelah semua pulang, hanya tersisa arang dan bau hangus yang masih menggantung. Tapi di antara puing-puing yang hitam itu, ada sedikit ruang bagi harapan: sebuah keluarga memutuskan untuk berdiri kembali, dengan cara yang sederhana—membangun perlahan, dibantu tangan-tangan yang datang tanpa diminta.
Dan, di Bantaeng yang kecil ini, itu sudah lebih dari cukup untuk membuat duka terasa sedikit lebih ringan.(*)