Pernyataan Dan Pertanyaan Kepada Pembela Rektor UINAM
Oleh: Muh. Nur Ardiansyah
Alumni dan Ketua Umum Dema FDK UINAM 2019
Hamdan Juhanis: Manusia biasa dan Rektor UINAM, bagaikan dua sisi mata uang koin. Ia berbeda tapi satu entitas, akal secara rasional mampu mengklasifikasikan masing-masing sisinya. Dalam kasus uang palsu yang terjadi di UIN Alauddin, kita mesti melihat Hamdan Juhannis seperti dua sisi mata uang koin tadi.
Sisi satu Ia sebagai Hamdan Juhannis (secara pribadi, tak terbagi, manusia biasa, makhluk ciptaan yang terikat dengan sunnatullah (hukum alam) dan dalam prinsip logika Aristotelian, Ia terikat dengan "law of identity") yang memiliki banyak keterbatasan. Sisi yang kedua yakni Hamdan Juhannis sebagai Rektor UIN Alauddin, pejabat publik yang mengemban amanah untuk kemaslahatan, kemanusiaan, untuk peradaban dan ilmu pengetahuan dengan dukungan sistem dan sumber daya manusia.
Desakan pertanggungjawaban kepada Hamdan Juhannis bukan pada sisi pribadinya, tapi pada sisinya yang lain selaku Rektor UINAM. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan; "Rektor bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan institusi". Kemudian penegasan dalam PP No.47 Tahun 2017 tentang Pendidikan Tinggi; "Rektor bertanggung jawab atas kegiatan akademik dan non-akademik".
Dalam Kasus "uang palsu" ini, rektor harus bertanggung jawab dan bentuk tanggung jawab itu tidak cukup atau sama harganya hanya dengan "mundur sebagai rektor" kata Prof. Qasim Mathar. Tetapi sebagai sebuah sikap kesatria, "pemimpin sejati". Rektor sendiri dalam beberapa pidatonya menyerukan untuk menanamkan "Taro Ada' Taro Gau". Kalau rektor berkata malu dan tertampar, maka bersikaplah seperti seorang pemimpin. Akui itu sebagai kesalahan dan kelalaian selaku rektor.
Jika tidak, semuanya akan berakhir sama, pidato rektor itu tidak berguna untuk membangun karakter yang baik bagi siapapun (isi pidatonya; orang Indonesia itu lain yang Ia cerita lain pula yang dikerjakan. Maka penting untuk menanamkan dalam diri "apa yang kita katakan itu pula yang dikerjakan", sebelum itu Ia menceritakan seperti apa itu orang India dan Jepang).
Kalau aktivitas mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan dibatasi dengan pemberlakuan aturan/pelarangan aktivitas malam, mengapa mesin percetakan sebesar itu bisa masuk tanpa sepengetahuan rektor? Hal sekecil apapun dalam institusi, haram hukumnya pimpinan institusi untuk tidak mengetahuinya.
Mahasiswa/organisasi kemahasiswaan saja rektor atur sebegitu ketatnya, bahkan sampai lokasi untuk merokok dan cara menyampaikan aspirasi, rektor tak segan memberikan sanksi skorsing kepada mahasiswa yang melakukan aksi penolakan (sementara 31 orang mahasiswa menerima surat cinta dan yang lainnya telah menerima intimidasi dan represi tertentu dari kaki tangan rektor).
Ke mana para keamanan itu (yang senang menghadang dan memukul mahasiswa) ketika mesin percetakan uang palsu itu dibawa ke perpustakaan saat malam hari. Menurut keterangan Kapolres Gowa, mesin itu tidak mampu diangkat oleh personelnya berjumlah belasan orang. Artinya barang itu pasti mengundang keramaian. Hanya saja, sekali lagi apakah tidak ada laporan yang sampai ke telinga Hamdan Juhannis selaku rektor. Apakah beliau tidak curiga dengan rekaman CCTV ataukah memang CCTV-nya dihilangkan lebih dulu.
Pimpinan UINAM senang mengadakan Rapim (Rapat Pimpinan). Banyak hasil dari Rapim tersebut yang harus kita akui dan patut diapresiasi. Tapi tidak dengan upaya mencampuri atau mengintervensi lembaga kemahasiswa yang tampak adanya upaya membunuh proses-proses demokrasi mahasiswa melalui Surat Edaran dan aturan-aturan lainnya. Sayang sekali, Rapim tidak menyentuh pembahasan terkait keamanan dan aktivitas-aktivitas mencurigakan di dalam kampus. Artinya, rektor dan pimpinan lain, lalai terhadap fungsi pengawasan dan tanggung jawabnya.
Sekali lagi, desakan itu bukan untuk Hamdan secara pribadi tapi selaku rektor. Bukan pula menginginkannya menjadi tersangka. Tidak sama sekali. Ini bukan omong-omong atau desas-desus yang melahirkan banyak pertanyaan dalam benak publik UINAM. Rektor mesti siap menerimanya, bukan menampiknya dengan bahasa-bahasa yang tidak mencerminkan sebagai orang nomor satu di UIN Alauddin. Demikian pula dengan para pembelanya. Ini untuk mengembalikan nama baik UIN Alauddin, mengembalikan kepercayaan publik/masyarakat luas terhadap UIN Alauddin yang mulia dengan peradabannya.(*)