Pendidikan Berkelas Dunia: Harga Mati Andalan Bangsa
Maman A. Djauhari
Kawan-kawan Guru dan Dosen/Guru Besar dari Sabang s/d Merauke.
Pendidik mana yang tidak mengetahui Jean Piaget (baca: Zong Pi-a-ze)? Pendidik profesional di seluruh pelosok dunia pasti mengenal nama besar Jean William Fritz Piaget. Kalau diantara kawan-kawan Guru dan Dosen/Guru Besar ada yang belum tahu siapa dia, segera cari tahu di Google ya.
Sebagai Direktur IBE (International Bureau of Education), UNESCO, pada tahun 1934 Piaget menggebrak dunia dengan pernyataan berikut: "Only education is capable of saving our societies from possible collapse, whether violent, or gradual (hanya pendidikan yang mampu menyelamatkan masyarakat kita dari kemungkinan kehancuran, baik yang bersifat kekerasan, maupun yang bertahap)."
Sebenarnya, bangsa Indonesia telah lebih dahulu memilih jalan pendidikan berkualitas dalam mencemerlangkan bangsa, jauh sebelum gebrakan Piaget itu. Semua anak bangsa harus mengakui dengan jujur bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia sekaligus berdirinya Negara Republik Indonesia dapat diwujudkan dengan cepat berkat pendidikan yang berkualitas. Jejak historis ini ditandai dengan berdirinya organisasi Boedi Oetomo, 20 Mei 1908 yang kemudian kita peringati setiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Semua WNI pun harus faham sejarah ini.
Seperti diceriterakan oleh Prof. Roosseno Soerjohadikoesoemo dalam sebuah diskusi di kampus ITB sekitar 40 tahun silam, Proklamator dan Presiden pertama Bung Karno adalah anak bangsa yang terdidik hebat dan ... gila MEMBACA (yang dibacanya adalah literatur kelas berat semua dalam berbagai bahasa). Demikian pula dengan Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Yamin dan tokoh-tokoh lainnya pendiri bangsa dan negara yang sekaligus tokoh-tokoh kemerdekaan.
Namun, harus kita waspadai juga bahwa bahaya yang mengancam eksistensi dan marwah bangsa pun datang dari dunia pendidikan; yakni tatkala pendidikan nasional tidak dijadikan program strategis nasional (PSN) yang utama dan abadi. Dan, musuh utama bangsa kita adalah kekuatan latent (berkolaborasi dengan WNI penghianat bangsa) yang mau membuat bangsa kita menjadi bodoh dan/atau menjadi pengikut (conformists).
I. Pendidikan yang Bagaimana?
Pertanyaannya: “Pendidikan yang bagaimana yang dimaksud oleh Piaget?” Jawabannya diberikan oleh Piaget melalui rumus berikut: “Education is to produce inventors and creators NOT conformists (Pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan untuk menghasilkan penemu dan pencipta BUKAN untuk memproduksi pengikut/konformis).”
Rumus Piaget ini, yang amat fundamental dan jauh menerawang ke masa depan, dapat ditemukan di dalam artikel berjudul “Conversations with Jean Piaget.” Artikel ini berupa hasil wawancara terhadap Piaget yang dilakukan oleh wartawan televisi kenamaan Jean-Claude Bringuier pada tahun 1980; lima bulan sebelum Piaget wafat di usia 84 tahun. Artikel aslinya ditulis dalam bahasa Perancis dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Basia Miller Gulatti.
Tidak hanya rumus itu yang diwariskan Piaget untuk peradaban manusia. Dalam sebuah laporan penelitiannya, kepada para pendidik dan para pengelola pendidikan dia bahkan mewanti-wantikan agar sedini mungkin mengembangkan potensi kecerdasan intelektual siswa dalam menerima dan mencerna konsep-konsep yang abstrak pada usia yang tepat. Tepatnya, pada usia 15 tahun.
II. Kematangan Intelektual
Kemampuan abstraksi mutlak diperlukan jauh sebelum siswa belajar membangun kemampuan critical thinking sebagai pintu gerbang pertama, untuk kemudian memasuki gerbang-gerbang berikutnya, dalam upaya meraih kemampuan diri sebagai inventors dan creators. Tentu, inventor dan creator dalam menghasilkan sesuatu yang baru bagi peradaban (global novelty).
Nah, dalam hal ini, sejak zaman Plato dunia intelektual menyadari bahwa bermatematikaria sejak dini adalah latihan yang paling efektif dan efisien untuk (1) menajamkan fikiran, (2) menajamkan akal, dan (3) menajamkan penglihatan matahati.
Dalam laporan penelitiannya, Piaget secara singkat mengatakan: “At age 15, students are ready to receive and learn abstract mathematics (Pada usia 15 tahun, kondisi kejiwaan para pelajar sudah siap menerima dan mempelajari matematika abstrak).” Bagaimana dosisnya? Kita bahas lain waktu ya.
Menarik untuk dipertanyakan: “Apa yang memicu minat Piaget untuk meneliti kemampuan siswa dalam bermatematika abstrak ditinjau dari segi usianya?” Saya tidak tahu pasti jawabannya. Namun, apabila kita mengamati budaya Barat sejak zaman renaissance dimana keluhuran budaya diukur dari tingkat kompleksitas kebudayaan, saya menduga kuat bahwa pemicunya adalah pesan Galileo. Kata Galileo, “universe is written in the language of mathematics (jagat raya tertulis dalam bahasa matematika).”
Pesan Galileo ini menjelaskan mengapa matematika dijadikan salah satu kunci utama dalam memajukan dan mengembangan peradaban. Dan, Piaget ingin tahu sejak usia berapa tahun siswa sudah bisa diajak berkomunikasi dalam dunia abstrak khususnya matematik.
Sekadar untuk memberi gambaran tentang budaya dan kemajuan peradaban Barat, jangan kaget kalau seorang Menteri Pendidikan dari negeri Trois Mousquetaires, dengan bangga menyatakan di jurnal SCIENCE (salah satu dari 3 top world class journals), edisi Juni 1998, bahwa para elit negara Perancis dididik dengan latar belakang matematika yang kuat. Dan, dengan bangga pula dia mengatakan: “la France est la terre des mathematiciens (Perancis adalah tanah para matematisi).”
Tahun 1977 saya pernah menjadi tutor matakuliah Partial Differential Equation untuk mahasiswa S1 Fakultas SASTRA, Université Paul Valéry, Montpellier, Perancis. Di ITB, matakuliah ini diberikan kepada mahasiswa S1 berbagai fakultas hard engineering dan FMIPA.
III. Bagaimana dengan Kita?
Apa yang saya uraikan diatas adalah gambaran tentang global intellectual racing (GIR) yang telah, sedang dan akan terus kita hadapi. Selama ini kita hanya jadi penonton di arena GIR tsb dan belum menjadi peserta terpandang. Kalau bangsa kita mau menjadi peserta terpandang dalam GIR, maka upaya mencerdaskan kehidupan bangsa saja tidak cukup. Semua anak bangsa harus bekerja keras mencerdaskan dan MENCEMERLANGKAN kehidupan bangsa; cemerlang diantara bangsa-bangsa lain yang cerdas dan sudah maju.
Sayang, nilai-nilai 1945 seperti yang dimiliki para tokoh kemerdekaan pendiri bangsa dan negara Indonesia tsb diatas sekarang luntur bahkan diabaikan dan nyaris tak terdengar lagi. Akibatnya, kecerdasan kehidupan bangsa menurun sampai-sampai kita tidak mampu memilih pemimpin sekaliber tokoh-tokoh itu.
Kita abai meneladani para tokoh itu. Kita abai meneladani jiwa mereka dimana chemistry yang harmoni antara kecerdasan yang cemerlang, jiwa nasionalisme yang tinggi dan semangat patriotisme yang kokoh telah terbangun. Nah, nilai-nilai 1945 ini harus disuntikkan kembali kepada semua anak bangsa, lalu dijaga kelestarian dan keutuhannya.
IV. Rekomendasi
Amat disayangkan, dalam satu dekade terakhir ini dunia pendidikan kita dilanda keprihatinan yang amat mendalam. Banyak indikasinya. Dua diantaranya sangat memilukan. Pertama, tahun 2016 tersebar ke seluruh pelosok dunia laporan penelitian Lant Pritchett, Professor di Harvard University, yang menyimpulkan konon pendidikan di Indonesia tertinggal 128 tahun dari pendidikan di negara maju. Kedua, tahun 2019 tersebar pula ke seluruh dunia hasil penelitian lainnya yang mengatakan konon IQ rata-rata nasional kita amat sangat rendah bahkan terendah di Asia Tenggara.
Kedua laporan itu mengindikasikan bahwa kita abai menjaga, memelihara, mengembangkan dan mengestafetkan nilai-nilai 1945 yang secara kultural diwariskan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia. Mari Bung rebut kembali ...!
Kalau kedua laporan itu kita jadikan bahan refleksi diri, maka jelas ada yang salah dalam mengelola pendidikan nasional kita mulai dari tingkat SDa (Sekolah Dasar) s/d tingkat SDo (Sekolah Doktor). Padahal, pendidikan berkualitas global adalah harga mati untuk menjamin kehidupan bangsa yang cerdas dan cemerlang. Hanya pendidikan seperti itu yang dapat memainkan peran penting dalam membangun masyarakat, budaya, dan sejarah panjang bangsa Indonesia ke depan nan cemerlang.
Bagaimana solusinya? Kalau pengurus negara belum mampu menyajikan pendidikan yang berkualitas seperti itu, maka tidak ada jalan lain selain kita bergotong royong dan berdikari membantu mengelola pendidikan berstandar global.
Tanpa pendidikan yang berkualitas global, maka hampir 300 juta rakyat tidak akan menjadi asset negara yang produktif bahkan akan menjadi beban negara. Demikian pula, sumber daya alam yang melimpah ruah tidak akan bermuara pada “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Just my 2 cents ... !
Salam dari Garut,
Maman A. Djauhari
(Pensiun dari ITB tahun 2009)
Activist in scientific knowledge production (kata UNESCO dan kata AEGIS**)
** AEGIS: Australian Experts Group in Industry Studies