Kritik Filsafat Prof Mustari, Membaca Perpol 10/2025 Dari Krisis Hukum Dan Bencana Ekologi
MAKASSAR, GOWAMEDIA.COM - Peraturan Kepolisian Republik Indonesia (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tiba-tiba menjelma menjadi episentrum perdebatan publik. Di ruang akademik, parlemen, hingga media arus utama, regulasi ini dipertanyakan: sahkah secara konstitusional, atau justru menandai kemunduran tata kelola hukum dan demokrasi?
Perdebatan mengeras ketika sejumlah tokoh dengan otoritas keilmuan dan politik menyampaikan pandangan yang saling berseberangan. Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Anggota K3 MPR RI, Prof. Juanda, menilai Perpol tersebut sah berlaku dan tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Menurutnya, secara normatif Perpol itu masih berada dalam koridor kewenangan institusional Polri.
Nada berbeda disampaikan Andi Mattalatta, mantan Menteri Hukum dan HAM yang kini juga duduk sebagai Anggota K3 MPR RI. Ia tidak langsung mempersoalkan sah atau tidaknya Perpol, tetapi menyoroti akar masalah yang lebih struktural: absennya prosedur sinkronisasi antarregulasi. Andi Mattalatta merefleksikan polemik ini sebagai akibat dari lemahnya mekanisme harmonisasi substansi sebelum sebuah peraturan ditempatkan dalam Berita Negara. Ia bahkan mengusulkan agar kewenangan sinkronisasi tersebut diatur tegas dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Media pun ikut mengeraskan diskursus. Harian Kompas edisi 13 Desember 2025 menyebut adanya indikasi “pembangkangan konstitusional” dalam Perpol Nomor 10 Tahun 2025. Penilaian itu sejalan dengan sikap Prof. Dr. Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Mahfud secara terang menyatakan bahwa Perpol tersebut bertentangan dengan konstitusionalitas Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Berdasarkan Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025, anggota Polri yang hendak masuk ke institusi sipil wajib pensiun atau berhenti. “Tidak ada lagi mekanisme penugasan atas alasan diskresi Kapolri,” tegas Mahfud.
Di tengah silang pendapat itu, suara kritis datang dari Mustari, Guru Besar Filsafat UIN Alauddin sekaligus Anggota K3 MPR RI. Mustari tidak sekadar membaca Perpol sebagai teks hukum, melainkan sebagai gejala filosofis dalam praktik bernegara.
Pertama, ia mengingatkan agar pimpinan Polri lebih berhati-hati dalam melahirkan norma. Pro dan kontra semestinya dihitung matang, apalagi Perpol ini berakar pada kebijakan sebelumnya yang telah memicu kegaduhan hukum. Mustari bahkan mengajukan pertanyaan mendasar: apakah Perpol tersebut, secara ontologis, memang berwenang untuk ada? Apakah ia lahir dari subjek yang secara eksistensial memiliki otoritas normatif? Bagi Mustari, seluruh kewenangan normatif Kapolri bersifat delegatif. Norma yang lahir dari subjek tanpa otoritas yang kokoh kehilangan legitimasi etis dan ontologisnya.
Kedua, kritik legitimasi itu berkelindan dengan kegelisahan publik yang lebih luas. Di tengah duka akibat bencana alam, hukum justru tampil dengan wajah yang terkesan sewenang-wenang. Mustari mengutip istilah tajam Dr. Baharudin Aritonang, mantan Anggota BPK dan kini Anggota K3 MPR RI: “hukum suka-suka atau siapa yang paling jago.” Dalam pandangan Mustari, hukum yang memberi ruang eksploitasi berlebihan, melemahkan perlindungan lingkungan, dan mengabaikan daya dukung ekologis, ikut mendorong perilaku destruktif manusia.
Ia menautkan kritik itu dengan regulasi besar seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba. Mengutip seorang penasihat hukum yang tengah viral, Mustari menyebut UU Cipta Kerja melemahkan kewajiban AMDAL, memusatkan izin di pemerintah pusat, mengurangi kontrol daerah, serta mempermudah izin tambang, properti, dan perkebunan.
UU Minerba, menurutnya, memberi konsesi luas dengan pengawasan reklamasi yang lemah dan sanksi administratif yang kerap mengalahkan pidana. Dampaknya nyata: longsor lubang tambang, banjir lumpur, banjir bandang, hingga kerusakan daerah aliran sungai. Hal serupa terjadi pada regulasi reklamasi dan pembangunan pesisir yang mengabaikan ekosistem mangrove, memicu banjir rob, abrasi, dan banjir perkotaan di Jakarta, Semarang, Makassar, dan kota pesisir lainnya.
Ketiga, Mustari membawa diskursus ini ke ranah filsafat hukum. Ia meminjam klasifikasi klasik: kosmosentris (berpusat pada alam), antroposentris (berpusat pada manusia), dan teosentris (berpusat pada Tuhan). Menurutnya, hukum Indonesia hari ini terjebak dalam antroposentrisme hukum—memandang alam semata objek eksploitasi. Alam dipaksa tunduk pada hukum, bukan sebaliknya. Padahal, kosmosentrisme hukum menuntut prinsip keberlanjutan lingkungan, sementara hukum bernuansa teologis masih jauh dari praktik legislasi dan yurisprudensi, tinggal mimpi indah di tengah malam.
Bagi Mustari, bangsa ini sedang tersesat secara paradigmatik. Kesalahan paradigma itulah yang melahirkan krisis demokrasi dan bencana ekologis. Jalan keluarnya bukan sekadar revisi pasal, melainkan revolusi kesadaran berdemokrasi: mengembalikan makna demos dan kratos, menempatkan rakyat sebagai majikan dan pemerintah sebagai pelayan. Sejalan dengan adagium klasik yang ia kutip, vox populi, vox dei—suara rakyat adalah suara yang seharusnya memandu hukum dan kekuasaan.(*)