Ketika Etika Mahasiswa Mulai Luntur Di Dunia Digital

Ketika Etika Mahasiswa Mulai Luntur di Dunia Digital

Oleh: Sudarto

Kemajuan teknologi digital telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan. Hubungan antara mahasiswa dan dosen kini tidak lagi terbatas pada ruang kuliah. Pesan singkat melalui WhatsApp, e-mail, atau media sosial yang beragam telah menjadi jembatan utama komunikasi akademik.

Sayangnya, kemudahan ini sering tidak diimbangi dengan pemahaman etika yang lebih baik. Banyak mahasiswa berkomunikasi dengan dosen tanpa memperhatikan sopan santun yang ideal, waktu yang tepat, atau pilihan kata yang pantas. Fenomena inil patut menjadi perhatian serius di lingkungan kampus.

Komunikasi yang Berubah, Etika yang Terlupakan

Komunikasi adalah jantung kehidupan sosial manusia. Dalam dunia pendidikan, komunikasi yang baik menjadi kunci keberhasilan proses belajar mengajar. Namun di era digital, batas antara komunikasi formal dan informal sering kali kabur.

Banyak mahasiswa yang menganggap dosennya seperti teman di media sosial, sehingga pesan yang dikirim menjadi terlalu santai. Misalnya, pesan seperti “Pak, saya sudah kirim tugas!” tanpa salam pembuka dan ucapan terima kasih, atau pesan yang dikirim tengah malam dan minta dibalas tanpa mempertimbangkan waktu istirahat dosen.

Kebiasaan ini tampak sepele, namun mencerminkan lunturnya nilai-nilai sopan santun ideal yang dahulu dijunjung tinggi dalam budaya akademik.

Temuan di Lapangan: Etika Digital Masih Lemah

Penelitian ini dilakukan di Kampus VI PGSD Bone Universitas Negeri Makassar yang melibatkan 100 orang mahasiswa. Penelitian ini mengamati perilaku komunikasi mahasiswa terhadap dosen melalui pesan digital, baik di e-mail, SMS, maupun WhatsApp.

Hasilnya cukup mengejutkan. Sekitar 90 persen mahasiswa mengirim pesan izin sakit tanpa menyertakan surat keterangan dokter. Sebanyak 80 persen lambat merespons pesan dosen, dan lebih dari separuh (54 persen) tidak memperkenalkan diri ketika pertama kali mengirim pesan.

Sebagian mahasiswa juga tidak memperhatikan waktu pengiriman pesan (45 persen), menggunakan bahasa yang kurang pantas (37 persen), atau bahkan menulis pesan dengan nada memerintah (40 persen).

Meski begitu, ada sisi positif yang perlu diapresiasi. Sebanyak 95 persen mahasiswa tetap menunjukkan kesopanan dengan membalas pesan dosen menggunakan ungkapan “Terima kasih, Pak/Bu” atau “Terima kasih, Puang.” Sikap sederhana ini menunjukkan bahwa nilai sopan santun masih tertanam dalam diri sebagian mahasiswa.

Mengapa Etika Komunikasi Itu Penting?

Etika komunikasi bukan sekadar aturan basa-basi. Ia adalah cerminan dari karakter seseorang. Dalam hubungan akademik, komunikasi yang santun menumbuhkan rasa saling menghargai antara mahasiswa dan dosen. Sebaliknya, komunikasi yang tidak beretika dapat menimbulkan kesalahpahaman, bahkan merusak hubungan akademik yang semestinya terjalin dengan rasa saling menghormati dan penuh tanggung jawab.

Banyak dosen di berbagai perguruan tinggi mengaku sering mendapat pesan yang bernada “memerintah” atau berulang kali dikirimi pesan jika pesan itu belum dijawab. Ada pula mahasiswa yang menggunakan emoji berlebihan, menyingkat kata-kata seenaknya, atau menulis pesan tanpa salam.

Kebiasaan semacam ini perlahan mengikis budaya sopan santun yang menjadi ciri khas pendidikan tinggi di Indonesia.

Membangun Budaya Komunikasi yang Beradab

Menjaga etika komunikasi sebenarnya tidaklah sulit. Ada beberapa hal sederhana yang bisa dilakukan mahasiswa untuk tetap sopan dan profesional dalam berinteraksi secara digital dengan dosen:

Gunakan salam pembuka dan perkenalan diri setiap kali mengirim pesan pertama kali.

Gunakan bahasa yang formal dan sopan, hindari singkatan yang tidak perlu.

Sampaikan tujuan pesan dengan jelas dan ringkas.

Perhatikan waktu pengiriman pesan. Hindari mengirim di luar jam kuliah atau waktu istirahat.

Tutup pesan dengan ucapan terima kasih.

Selain dari sisi mahasiswa, perguruan tinggi juga memiliki peran penting. Lembaga pendidikan perlu memberikan pembekalan yang memadai tentang etika komunikasi akademik di era digital, agar mahasiswa tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga berkarakter.

Menanamkan Kembali Nilai Sopan Santun

Teknologi tidak boleh menjadi alasan untuk meninggalkan nilai-nilai moral. Dunia digital tetap membutuhkan sentuhan etika. Mahasiswa sebagai calon intelektual bangsa perlu berlatih sejak dini dalam menjaga perilaku dan tutur kata, termasuk saat berkomunikasi melalui layar ponsel.

Komunikasi yang sopan bukan hanya memperlancar hubungan akademik, tetapi juga melatih mahasiswa menjadi pribadi yang profesional dan berintegritas di dunia kerja kelak.

Penutup

Kemajuan teknologi memang membuat segalanya lebih mudah, namun etika tetap menjadi dasar dari komunikasi yang baik. Mahasiswa perlu menyadari bahwa kesopanan adalah mutlak dalam kehidupan secara menyeluruh: di kampus maupun di luar kampus, di dunia nyata maupun di dunia virtual, dalam bentuk konvensional mauoun dalam bentuk digital dan menjadi bagian penting dari kecerdasan sosial di era modern.

Sudah saatnya kampus kembali menanamkan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai etika digital agar mahasiswa tidak hanya cerdas berpikir, tetapi juga santun dalam berinteraksi. Karena sejatinya, ilmu tanpa etika hanyalah pengetahuan tanpa makna.

Tentang Penulis:

Sudarto adalah dosen di Universitas Negeri Makassar yang aktif meneliti bidang komunikasi pendidikan dan etika akademik.