HMI GOWA RAYA: HMI “SAPI PERAH”?
Oleh: Panji Hartono
Bagi kita
HMI belum menemukan dirinya
Banyak perubahan-perubahan perlu dilakukan
Yang harus dirintis atau diteruskan
Oleh yang tinggal di belakang kita
(Ahmad Wahib, Catatan Pergolakan Pemikiran Islam, h. 36)
Kutipan di atas merupakan ungkapan yang bernada puitis dari salah satu kader terbaik yang pernah dilahirkan HMI, yaitu Ahmad Wahib dalam catatan hariannya yang dikumpulkan menjadi salah satu buku monumental, kaitannya dengan sejarah dan dinamika pergolakan pemikiran Islam di Indonesia. Penggalan catatan “puitis” yang diberinya judul “perpisahan” di atas, merupakan deklarasi Wahib kepada sahabatnya Djohan Effendi (yang juga merupakan kader HMI) pada 14 Agustus 1969 untuk “keluar” dari HMI, namun bagi para pembaca yang serius membuka lembaran-lembaran catatan harian wahib itu, akan memahami bahwa keluarnya wahib dan Djohan dari HMI merupakan ekspresi cinta keduanya kepada HMI, tempat keduanya menyemai pikiran-pikiran kritis, khususnya mengenai pemikiran Islam.
Memang tidak bisa dipungkiri, salah satu kontribusi dari organisasi HMI terhadap bangsa Indonesia adalah melahirkan banyak pemikir atau cendekiawan yang telah berkontribusi secara pemikiran pada berbagai sektor (Hukum, Ekonomi, Politik, budaya, pemikiran Islam, dll) bagi perjalanan bangsa Indonesia (meskipun tidak sedikit juga dari kalangan koruptor di negeri ini, yang berlatarbelakang HMI). Sehingga, tidak terlalu berlebihan untuk mengatakan bahwa berkesempatan untuk bergabung di HMI, merupakan kesempatan untuk dapat menempa diri agar mampu berkontribusi untuk kemaslahatan bangsa ini (untuk hal ini, sangat bergantung pada penghayatan dan pemaknaan kader terhadap proses di HMI).
Saya sendiri, pertama kali memutuskan untuk bergabung di HMI pada tahun 2017, ketika berusia semester 3 di kampus (UINAM). Salah satu alasan saya bergabung di HMI, pada semester 3 dan bukan pada saat MABA (Mahasiswa baru) karena penulis ingin “mengamati” secara sepintas berbagai organisasi kemahasiswaan di UINAM terlebih dahulu. Selama proses “pengamatan” sederhana tersebut, saya beberapa kali berinteraksi dan menjumpai sejumlah aktivis mahasiswa yang saya anggap “keren”, khususnya saat berada pada forum diskusi keilmuan dan juga saat adanya demonstrasi.
Kebanyakan dari para aktivis “keren” yang saya jumpai itu adalah kader HMI (hal ini, barangkali sangat wajar, karena banyak posisi strategis pada struktur lembaga kemahasiswaan di kampus saat itu, diduduki oleh kader HMI, sehingga yang kerap tampil pada forum-forum mahasiswa adalah kader HMI). Berdasarkan “pengamatan” singkat itulah saya akhirnya memilih bergabung di HMI lewat bastra (basic training) angkatan 114 HMI Komisariat Dakwah dan Komunikasi Cabang Gowa Raya.
Awal-awal bergabung di HMI, kekaguman saya menemukan “pembuktiannya”, beberapa aktivis “keren” yang sebelumnya hanya saya jumpai pada forum-forum kemahasiswaan yang formal (resmi), ketika masuk HMI, saya dapat menjumpainya di luar forum mahasiswa yang resmi, bahkan dapat berdialog langsung dan bertanya banyak hal (khususnya seputar kajian keislaman) secara santai dan lebih mendalam kepada mereka.
Yang lebih menarik, karena beberapa pemahaman keislaman yang saya dapatkan dari “dua pesantren” tempat saya belajar sebelum masuk kampus, kerap kali “dijungkirbalikkan” dengan argumentasi di luar dugaan saya dan itu merupakan pengalaman “intelektual” yang sangat mengasyikkan tentunya (setidaknya bagi saya). Sebagai mahasiswa yang masih “berusia jagung” di kampus, dapat berinteraksi dan berdiskusi banyak hal dengan beberapa mahasiswa “senior” yang berstatus sebagai aktivis, adalah sebuah kesempatan yang tidak semua mahasiswa sebaya dengan saya dapat rasakan, itu semua saya dapatkan di HMI Gowa Raya.
Pengalaman intelektual yang saya dapatkan setelah masuk di HMI sangat saya nikmati. Semenjak bergabung di HMI, aktivitas seperti membaca buku, berdiskusi, berdebat dan juga menulis menjadi “rutinitas” tambahan yang saya lakoni sebagai mahasiswa di luar rutinitas perkuliahan yang serba “formalitas”. Selain beberapa aktivitas tersebut, hal lain yang juga menarik di HMI bagi saya sendiri karena adanya “pendidikan politik” organisasi.
Berkat pendidikan politik di HMI, saya dapat memahami bahwa “politik” yang terkesan “negatif dan kotor” bagi banyak orang, dapat diposisikan sebagai sesuatu yang “netral” bahkan “positif”, sebab di HMI diajarkan bahwa “berpolitik” merupakan salah satu cara untuk dapat memperjuangkan “ide dan gagasan” agar dapat direalisasikan secara efektif dan disebarluaskan secara massif. Itulah “nilai ideal” dari politik yang saya pahami dari kaderisasi pendidikan politik di HMI yang didapatkan melalui dua materi “penting” dalam kegiatan kaderisasi HMI yaitu materi NDP (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan) dan Ideopolitorstratak.
Pelaksanaan kaderisasi pendidikan politik di HMI, dapat dikatakan merupakan “konsekuensi sejarah” yang harus dijalankan oleh HMI. Mendiang Nurcholish Madjid (Cak Nur), salah satu cendekiawan berlatarbelakang HMI, dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa sejak awal didirikan, HMI merupakan organisasi perkaderan dan salah satu perkaderan yang dilaksanakan di HMI adalah pendidikan politik. Hal itu dapat dipahami karena sebagai organisasi pemuda yang sejak didirikan juga berorientasi untuk memperjuangkan nilai keindonesiaan atau kebangsaan (termasuk nilai kemahasiswaan dan keislaman), salah satu aspek yang senantiasa harus diperjuangkan oleh HMI adalah “peningkatan kedaulatan rakyat”, dan untuk dapat meningkatkan peran HMI dalam mengembangkan misi menegakkan kedaulatan rakyat, HMI harus mengadakan Pendidikan politik yang luas, mendalam dan kaya bahan. (Madjid: 2008, 98)
Pendidikan politik bagi kader HMI itulah yang selanjutnya diimplementasikan untuk meningkatkan kesadaran politik rakyat, sebab kedaulatan rakyat hanya bisa diperoleh melalui kesadaran politik yang matang dari rakyat itu sendiri. Semakin matang kesadaran politik rakyat, maka semakin tinggi pula nilai kedaulatannya, begitupun sebaliknya. Kesadaran politik rakyat merupakan kesadaran yang berhubungan dengan hak-hak rakyat yang sah, baik itu menurut nilai kemanusiaan universal maupun menurut ketentuan kenegaraan.
Hak-hak yang sah itulah yang harus senantiasa diperjuangkan oleh rakyat agar rakyat tidak hanya sekedar dibebani berbagai kewajiban seperti membayar pajak, taat aturan dan sebagainya. Tidak adanya keseimbangan antara “pelaksaan kewajiban” dan “perolehan hak” merupakan ciri dari kezaliman, dan dalam konteks kehidupan bernegara merupakan alaram dari “krisis kedaulatan rakyat”. Kurang lebih demikianlah salah satu maksud dari pernyataan seorang penyair jerman, Bertol Brecth bahwa buta yang paling berbahaya “bagi rakyat” adalah buta politik.
Resiko buta politik sangat rentan menjangkiti rakyat yang rendah kesadaran politiknya, sehingga dibutuhkan “sekelompok kaum terpelajar” yang berperan untuk memberikan “pencerahan politik” bagi rakyat, dan HMI merupakan salah satu kelompok kaum terpelajar yang dianggap memiliki tanggung jawab moral dan sejarah untuk menjalankan peran tersebut sebagai bentuk dari perjuangan terhadap nilai keindonesiaan atau kebangsaan. Pada aspek itulah pentingnya pendidikan politik di HMI, meski HMI bukan partai/organisasi politik --- dan sebaiknya stay away dari politik (praktis)---, tandas Cak Nur.
Pertanyaannya, apakah HMI telah melaksanakan peran kebangsaan tersebut yang ditopang oleh proses kaderisasi politik yang matang? Saya sendiri sangsi untuk menjawab “iya”. Namun untuk menghindari bias over generalitation, ulasan ini hanya akan menyoroti HMI tempat penulis berproses beberapa tahun terakhir, yaitu HMI Cabang Gowa Raya. Seperti yang telah saya uraikan di atas, bahwa HMI Cabang Gowa Raya “pernah” menjadi wadah yang menjalankan rutinitas layaknya “kawah candradimuka mahasiswa” (istilah Solichin) bagi kader-kadernya, setidaknya dalam amatan penulis. Sehingga tidak berlebihan juga bila ada yang menaruh “harapan” terhadap kaderisasi mahasiswa di HMI Gowa Raya untuk menciptakan kader-kader yang dapat berkontribusi lebih untuk bangsa Indonesia kedepan, penulis pun sempat berharap demikian.
Namun “harapan” tersebut mulai saya sangsikan sendiri, ketika saya menjumpai berbagai fakta “paradoksal” dan anomali di HMI Gowa Raya beberapa tahun terakhir yang sangat “berkontradiksi” dengan nilai-nilai ideal yang dulu saya dapatkan pada forum-forum perkaderan HMI. Beberapa diantara fakta anomali tersebut adalah tradisi perpecahan (dualisme) kepengurusan cabang yang senantiasa “dirawat”, selain itu pelaksanaan waktu kepengurusan yang cukup lama dalam satu periode kepengurusan (sangat melenceng dari ketetapan organisasi) tanpa alasan yang rasional.
Belum lagi gelagat beberapa pengurus cabang yang menjadikan HMI Gowa Raya lebih mirip “humas pemerintahan” daripada “mitra kritis kekuasaan”, menjadikan berbagai “aksi-perjuangan” yang dilaksanakan HMI Gowa Raya lebih terkesan untuk kepentingan “segelintir pejabat” ketimbang untuk kepentingan “rakyat”. Namun nahasnya, Fakta-fakta anomali tersebut kerap disebut sebagai bagian dari “dinamika organisasi” yang dianggap dapat “mematangkan” HMI. Tetapi semakin ke sini, anggapan bahwa fakta-fakta itu merupakan bagian dari dinamika organisasi yang dapat mematangkan HMI, khususnya cabang Gowa Raya, nampaknya hanya “basa-basi pelarian” bahkan terkesan omong kosong.
Berbagai fakta anomali tersebut, tentunya berdampak pada “kelancaran siklus perkaderan” di bawah kontrol HMI Cabang Gowa Raya. Misalnya saja, program perkaderan Latihan Kader (LK) 2 atau intermediate training yang merupakan program tahapan perkaderan formal HMI di bawah tanggung jawab pengurus Cabang dan kordinator komisariat (korkom). Kegiatan LK 2 yang sebenarnya dapat diselenggarakan sebanyak 5 kali oleh lima periode kepengurusan cabang, ternyata hanya terselenggara 2 kali oleh dua periode kepengurusan akibat waktu periode kepengurusan cabang yang terlalu lama, dan fakta itulah yang terjadi di HMI cabang Gowa Raya. Belum lagi polemik dualisme kepengurusan cabang yang tentunya juga berimbas pada “konflik-konflik” kecil di tataran komisariat yang lebih menonjolkan sisi persaingan “kontra-produktif” daripada persaingan produktif.
Pertanyaannya, apa hasil dari berbagai fakta anomali yang dianggap “dinamika yang mendewasakan” organisasi tersebut? alih-alih menghasilkan “prestatsi” yang dapat dibanggakan, fakta anomali tersebut justeru menghasilkan berbagai “sensasi” yang memilukan. Sejumlah isu miring yang memalukan ihwal “kepengurusan cabang” kerap kita dengarkan dan jumpai akhir-akhir ini yang sepertinya akan cukup panjang jika diuraikan dalam tulisan ini. Jika demikian, untuk apa tradisi perpecahan kepengurusan cabang dan juga tradisi “memperpanjang” periode kepengurusan dirawat? Masihkah elok untuk terus bersembunyi di balik klaim “dinamika organisasi” untuk sekedar menutupi “kebobrokan” organisasi?
Berbagai fakta anomali yang terjadi pada HMI Gowa Raya itu semakin menunjukkan bahwa bahtera besar ini terus berlabuh tanpa memprioritaskan lagi kepentingan organisasi khususnya perkaderan. Kita harus jujur bahwa sudah terlalu banyak “kepentingan non-organisasi” yang menggerogoti HMI Gowa Raya. Dalam situasi seperti ini, masihkah HMI Gowa Raya dapat disebut sebagai “kawah candradimuka”, atau justeru lebih mirip sebagai “sapi perah” untuk memuaskan nafsu kepentingan segelintir pihak?
Kini HMI Gowa Raya sedang melaksanakan kontestasi pergantian kepengurusan cabang yang dikenal dengan konferensi cabang (konfercab). Namun pelaksanaan konfercab saat ini diwarnai dengan “polemik” perpecahan yang menghasilkan dua versi pelaksanaan konfercab. Apakah polemik ini ingin lagi disebut sebagai “dinamika yang mendewasakan” atau semakin menunjukkan bahwa cabang ini benar-benar telah dijadikan “sapi perah” untuk mengakomodasi kepentingan non-organisasi yang sangat jauh dari kepentingan perkaderan?
Jika HMI Gowa Raya saat ini dan kedepannya masih lebih mirip “sapi perah” yang hanya dimanfaatkan oleh segelintir pihak, maka harus ada juga beberapa pihak yang berani mengajukan evaluasi dan kritik secara radikal. Mungkinkah, kritik dan evaluasi radikal tersebut adalah dengan menjadikan cabang besar ini lebih “ramping” untuk dapat mengamputasi berbagai kepentingan non organisasi yang tidak sehat tersebut?(*)