Analisis Ekonomi: Harga Emas Anjlok, Anomali Di Tengah Ketidakpastian Global

Analisis Ekonomi: Harga Emas Anjlok, Anomali di Tengah Ketidakpastian Global

JAKARTA, GOWAMEDIA.COM– Harga emas mengalami koreksi tajam dalam beberapa hari terakhir, menciptakan anomali di tengah kondisi global yang justru biasanya menjadi pemicu reli logam mulia tersebut. 

Di tengah meningkatnya kekhawatiran resesi akibat perang dagang AS-Tiongkok, emas—yang lazimnya menjadi aset lindung nilai utama—malah terkoreksi cukup dalam karena aksi jual dari para investor.

Mengacu pada data Refinitiv, harga emas spot pada Jumat (4/4/2025) ditutup di level US$ 3.037,36 per troy ons, ambles 2,42%. Ini menjadi harga penutupan terendah sepanjang pekan ini. 

Sebelumnya pada Kamis, emas juga terkoreksi 0,66%, sehingga secara mingguan, harga logam mulia ini mencatat penurunan 1,51%, mengakhiri tren positif empat pekan berturut-turut.

Padahal awal pekan ini, emas sempat mencetak rekor baru. Pada Rabu, harga ditutup di US$ 3.133,57 per troy ons, mencerminkan optimisme pasar terhadap aset safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi global. Namun, harga tersebut tidak bertahan lama karena aksi jual besar-besaran.

Analis Standard Chartered, Suki Cooper, menjelaskan bahwa emas kerap menjadi aset likuid yang dijual ketika investor menghadapi margin call akibat jatuhnya aset lain, terutama saham. 

“Kita cenderung melihat emas sebagai aset likuid yang digunakan untuk memenuhi margin call di tempat lain... pergerakannya sesuai dengan tren historis,” kata Cooper kepada Reuters.

Penurunan tajam pasar saham global menjadi pemicunya. Indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing anjlok sekitar 5% dalam dua hari, setelah China mengumumkan tarif balasan sebesar 34% atas semua barang AS, efektif 10 April. Ini merupakan respon atas kebijakan tarif baru dari Presiden AS Donald Trump, yang memanaskan kembali tensi dagang kedua negara.

Faktor lain yang membebani emas adalah penguatan indeks dolar AS, yang naik dari 102,072 ke 103,023 dalam sehari. Kenaikan dolar membuat emas—yang dihargai dalam dolar—menjadi lebih mahal bagi pembeli luar negeri, sehingga menekan permintaan.

Sementara itu, pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell menambah lapisan ketidakpastian. Powell menyatakan bahwa tarif baru Trump lebih besar dari perkiraan dan kemungkinan akan berdampak signifikan terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi AS. Hal ini membuka kemungkinan pemangkasan suku bunga yang lebih agresif dari sebelumnya, hingga 50 basis poin atau lebih.

Namun, data tenaga kerja AS yang masih kuat menjadi penghalang bagi langkah pelonggaran tersebut. Non-farm payrolls pada Maret menambah 228.000 lapangan kerja, jauh di atas ekspektasi. 

Angka pengangguran hanya naik tipis ke 4,2%. Ini memberikan alasan bagi The Fed untuk menahan diri dari penurunan suku bunga dalam waktu dekat.

Masih Naik 15% Sejak Awal Tahun

Kendati sedang mengalami tekanan jangka pendek, emas masih mencatat kenaikan sekitar 15,3% sejak awal tahun. Pembelian besar-besaran dari bank sentral dan minat investor terhadap aset aman membuat prospek jangka menengah hingga panjang tetap solid.

“Terlepas dari volatilitas jangka pendek, emas masih menjadi tempat aman bagi banyak investor,” ujar Matt Simpson, analis senior di City Index.

Penurunan harga emas kali ini mencerminkan dinamika pasar yang kompleks, di mana logika klasik tentang emas sebagai safe haven harus bersaing dengan realitas kebutuhan likuiditas investor dan tekanan eksternal seperti penguatan dolar serta tensi geopolitik. 

Meskipun sempat melemah, prospek emas tetap positif dalam jangka panjang, apalagi jika tekanan ekonomi global terus meningkat.(*)